Oleh Rumongso
Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan Uji Materi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, yaitu terkait Pasal 9 yang berbunyi, ”Kualifikasi akademik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi
program sarjana atau program diploma empat” (Kompas, 30/3).
Pemohon
memberikan alasan bahwa pasal itu memberikan ketidakpastian pada
profesi guru yang bersifat khusus bagi pemegang gelar sarjana pendidikan
yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Dengan keputusan MK ini, sarjana apa pun saat ini bisa jadi seorang
guru. Tragis.
Ingatan saya melayang jauh saat saya menempuh
pendidikan calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sudah
dibubarkan dan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang
sekarang berubah menjadi universitas. Bersekolah di SPG memerlukan
ketabahan hati yang luar biasa. Profesi guru yang saat itu masih
dipandang rendah menjadikan kami, murid-murid SPG, menerima pelecehan.
Jika berpapasan dengan anak SMA, mereka memberi salam, ”Selamat pagi Pak
Guru!” dengan nada mengejek. Kami mendapat sebutan sebagai Oemar Bakri,
sosok guru yang digambarkan dalam lagu oleh Iwan Fals.
Anak
laki-laki susah mendapatkan pacar karena tidak ada yang sudi berpacaran
dengan calon guru. Namun, kami menjalani dengan tabah dan senang hati
sebab profesi guru profesi luhur.
Di IKIP juga demikian.
Mahasiswa IKIP ibarat golongan mahasiswa kelas III setelah mahasiswa
universitas umum dan universitas swasta favorit. Kami menutupi identitas
sebagai mahasiswa IKIP. Di tempat kuliah kerja nyata, mahasiswa IKIP
tidak menerima sambutan yang layak dari pejabat pemerintah. Berbeda
dengan mahasiswa dari universitas umum yang berasal dari kalangan kaya.
Gelar Doktorandus (Drs) diplesetkan menjadi Doktorambles. Yang sekolah
di SPG umumnya anak-anak keluarga miskin.
Masuk IKIP atau
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) umumnya pilihan kedua atau
ketiga daripada tidak kuliah. Tamat dari SPG atau IKIP jarang ada yang
membaktikan ilmunya sebagai guru. Mereka memilih pekerjaan lain selain
guru sebab lebih menjanjikan dari segi ekonomi.
Tamat dari
SPG/IKIP, saya menggigit perasaan sendiri. Gaji yang saya terima sangat
jauh dari gaji buruh pabrik. Untuk menutupi kekurangan, saya terpaksa
menerima mengajar les privat. Berangkat kerja jalan kaki. Agar tidak
berkeringat saat sampai sekolah, kami memakai kaus oblong. Seragam guru
model baju safari menjadi bahan candaan atau olok-olok para pelawak.
Dalam
film sosok guru digambarkan sebagai sosok bijak bestari, tetapi juga
konyol dan sasaran jahil anak-anak orang kaya. Saudagar yang kaya raya
mengancam anak gadisnya yang tidak menurut orangtua untuk menikah dengan
sesama anak saudagar akan dinikahkan dengan guru. Penggambaran yang
sangat stereotip nestapa itulah yang menyebabkan siapa pun tidak akan
memilih profesi guru.
Era baru guru
Kini
keadaan sudah berubah. Profesi guru menjadi rebutan. FKIP menjadi
rebutan calon mahasiswa. Untuk program S-1 PGSD/PAUD, rasio mahasiswa
yang diterima dengan jumlah pendaftar mencapai 1:140. Mahasiswa FKIP
berani berjalan tegak. Kegiatan kampus yang diprakarsai mahasiswa FKIP
berjalan penuh gairah. Mereka berani menunjukkan jati diri sebagai calon
guru pendidik tunas-tunas muda. Bahkan, mahasiswa S-1 PGSD/PAUD berani
tampil beda dengan seragam kuliah baju putih celana hitam dengan sepatu
pantofel hitam. Saya trenyuh dan bangga melihat mereka. Saya yakin dunia
pendidikan akan lebih baik lagi sebab dijalankan oleh mereka yang
benar-benar memilih profesi guru sejak dini.
Mengapa? Sebab
profesi ini menjanjikan secara ekonomi. Pemberian tunjangan profesi bagi
guru yang sudah bersertifikasi menyebabkan banyak guru mampu membeli
mobil, memiliki rumah layak, menyekolahkan anak hingga pendidikan
tinggi, dan berkiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Guru jadi
profesi idaman. Anak FKIP unjuk gigi dengan membuat kaus atau jaket yang
menandakan bahwa mereka calon guru.
Saat tahu MK menolak
gugatan, hati saya marah sebab siapa pun kini bisa jadi guru asalkan dia
berpendidikan sarjana atau diploma empat dari jurusan apa pun, fakultas
apa pun. Saya bergumam, guru sudah jadi profesi sampah.
Mereka
yang tak memperoleh pekerjaan sesuai bidang pendidikannya menyerbu
profesi ini dan menggusur para sarjana pendidikan yang sedari awal sudah
mewakafkan diri sebagai guru. Di beberapa sekolah, latar belakang
pendidikan tenaga pendidik kini berbagai macam. Ada yang SE, SH, ST, SP.
Mereka jadi guru karena kepepet tidak diterima bekerja sesuai dengan
bidang yang ditempuh saat kuliah.
Memang Pasal 9 UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen tak bertentangan dengan UUD 1945. Namun,
andaikata hakim MK menanyakan kepada sarjana non-kependidikan mengapa
mereka bekerja sebagai guru yang semestinya dikhususkan kepada sarjana
pendidikan, jawabannya kemungkinan adalah kepepet, ketimbang demi
kemajuan dunia pendidikan itu sendiri. Akibat kondisi ini, lulusan FKIP
akan terdesak dan dirugikan. Mereka kuliah di FKIP/LPTK karena niat
sejak awal ingin menjadi guru, bekerja sesuai bidang keilmuannya.
Saya
ingin menggugat, bolehkah profesi khusus seperti dokter, pengacara,
hakim, dan notaris diisi lulusan pendidikan tinggi apa pun? Jika boleh,
maka saya orang pertama yang akan menjadi hakim supaya wajah hukum
negeri ini tidak buram. Saya akan menjadi pengacara agar bisa memberikan
bantuan hukum gratis di pengadilan. Pasti saya akan diprotes lulusan
Fakultas Hukum sebab ladang pekerjaannya saya rebut.
Profesi guru
itu juga profesi khusus sehingga pendidikan yang diperolehnya pun
berisi materi pembelajaran yang khusus pula. Saat saya sekolah di SPG,
pelajaran yang saya terima berbeda jauh dengan pelajaran anak SMA. Ada
pelajaran Psikologi Pendidikan, Psikologi Anak, Ilmu Pendidikan, Materi
dan Metode Penilaian untuk semua pelajaran umum di SD, Simulasi
Mengajar, Kurikulum, dan lain-lain sehingga saat tamat SPG dan mengajar
saya tak mengalami kendala dalam mengajar dan menghadapi anak didik.
Banyak
ilmu yang diberikan saat kuliah di FKIP dan digunakan sebagai bekal
untuk mendidik anak yang berasal dari berbagai latar belakang sosial
ekonomi.
Palu hakim MK memang sudah diketuk dan bersifat final.
Namun, sebagai sumbang saran, sudah sewajarnya sekolah-sekolah tetap
menyeleksi calon guru yang akan mengajar sehingga seyogianya guru
memiliki latar belakang pendidikan guru.
Rumongso Pendidik Tinggal di Sala, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar